Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan kaum Muslim dan Muslimat untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Allah swt berfirman;
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [QS. Al-Nuur : 30]
Dalam Kitab Ahkaam al-Quran disebutkan, “Maksud ayat ini adalah agar menahan (menjaga) pandangan dari aurat. Sebab, tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai bolehnya melihat selain aurat.”
Imam al-Syaukani, dalam kitab Fath al-Qadir, menyatakan, “Tatkala Allah swt menerangkan hukum meminta ijin, Allah swt juga menyertakan hukum melihat (hukm al-nadhr) dalam bentuk umum. Di mana, di atas hukum umum tersebut dijelaskan hukum menjaga pandangan dari orang yang meminta ijin, seperti yang dituturkan oleh Nabi saw, “Sesungguhnya, ijin itu ditetapkan untuk menjaga pandangan.” Selain itu, kaum Mukmin juga dilarang memandang wanita Muslimat yang bukan mahramnya, seperti halnya ada larangan bagi kaum Mukmin melihat wanita a’jam (asing).
Ini ditujukan untuk mencegah terjadinya praktek zina, yang salah satu bagian dari zina adalah memandang wanita asing. Jika kaum Mukmin dilarang melihat wanita asing, lebih-lebih lagi wanita-wanita Mukminat….Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga pandangan (ghadldl al-bashar) adalah ithbaaq al-jafn ‘ala ‘ain (mengatupkan kelompok mata di atas mata), agar mata tidak bisa melihat…. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa huruf min dalam frase “min absharihim” berfungsi untuk membatasi (li al-tab’iidl).
Oleh karena itu, makna ayat tersebut adalah menjaga pandangan dari apa-apa yang diharamkan, dan membatasi diri hanya memandang hal-hal yang dihalalkan.
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan haramnya melihat apa-apa yang haram untuk dilihat.” Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini merupakan perintah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang Mukmin agar menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, janganlah mereka memandang, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan atas mereka; dan hendaklah mereka menahan (menjaga) matanya dari hal-hal yang diharamkan.
Hanya saja, telah ada kesepakatan, jika seseorang memandang wanita asing tidak dengan sengaja, maka ia harus segera memalingkan pandangannya. Ketentuan ini sejalan dengan hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajaliy;
bahwasanya ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tidak sengaja. Beliau saw memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku“.
Dalam Tafsir al-Thabariy, Imam Thabariy menyatakan; Allah swt telah memerintahkan kepada Nabi Mohammad saw agar mengatakan kepada laki-laki Mukmin untuk menahan (menjaga) pandangannya dari hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat, jika ia memandangnya.
Imam al-Suyuthiy dalam kitab al-Durr al-Mantsur, menuturkan beberapa riwayat yang berkenaan dengan ayat di atas (al-Nuur:30). Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ali ra berkata, “Di masa Nabi saw, ada seorang laki-laki sedang berjalan di salah satu jalan di kota Madinah, dan ia memandang seorang wanita. Wanita itu juga memandang dirinya. Lalu, keduanya dibisiki oleh setan, dimana satu dengan yang lain tidak saling memandang kecuali keduanya saling tertarik.
Laki-laki itu berjalan di sisi tembok, dan terus memandang wanita itu. Tanpa ia sadari, tembok itu telah berada di depannya, dan hidungnya pun menabrak tembok hingga berdarah. Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyeka darahku ini, hingga Rasulullah saw mendatangiku. Lalu, ada seorang laki-laki menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw pun mendatanginya, dan laki-laki itu pun menceritakan kisahnya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda, “Ini adalah hukuman atas dosamu.” Kemudian, turunlah firman Allah swt surah al-Nuur:30″. Diriwayatkan juga dari Qatadah, bahwa makna firman Allah swt, “qul lil mukminiin yaghudldluu min abshaarihim“, adalah, “menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak dihalalkan memandangnya..”
Imam Qurthubiy juga menyitir pendapat dari Qatadah, bahwa maksud ayat ini adalah agar kaum Mukmin menjaga pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka. Menurut Imam Qurthubiy, hukum menjaga pandangan dari semua hal yang diharamkan dan dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah, adalah wajib.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah oleh kalian, duduk-duduk di jalanan “. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidaklah kami duduk di pinggir jalan, kecuali hanya sekedar berbincang-bincang saja.” Nabi saw saw berkata, “Jika kalian tidak bisa menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan, maka, penuhilah hak-hak pengguna jalan.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak pengguna jalan itu? Nabi menjawab,” Menjaga pandangan, menyingkirkan bahaya, membalas salamnya, dan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar”.[HR. Bukhari dan Muslim]
Hanya saja, kewajiban menjaga pandangan dan kemaluan, juga berlaku bagi wanita. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman;
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Imam Baidlawiy, dalam Tafsir al-Baidlawiy menafsirkan ini dengan menyatakan, “Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk melihatnya.” Imam Syaukani dalam kitab Fath al-Qadiir menjelaskan; ayat ini seperti halnya surat al-Nuur ayat 30, merupakan dalil yang menunjukkan haramnya wanita Mukminah memandang apa-apa yang diharamkan.
Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat ini berfungsi untuk menegaskan (ta’kiid) perintah gadldlu al-bashar (menjaga pandangan) kepada para wanita Muslimat. Sebab, pada ayat sebelumnya, yakni surat al-Nuur ayat 30, sudah ada perintah kepada wanita Muslimat agar menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebab, frase “wa qul lil mukminiin” adalah frase umum yang berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita; seperti halnya setiap khithab umum yang ada di dalam al-Quran. Perintah ini kemudian dipertegas kembali pada ayat berikutnya (surat al-Nuur:31).
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kaum Mukmin dan Mukminat wajib menjaga pandangannya; dengan cara tidak melihat aurat laki-laki atau wanita asing (bukan mahram). Adapun pandangan yang tiba-tiba atau tidak disengaja; hukumnya tidaklah haram. Hanya saja, setelah pandangan pertama, mereka harus segera memalingkan pandangannya ke arah yang lain.
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Sa’id bin Abi
al-Hasan pernah berkata kepada al-Hasan, ketika ada seorang wanita ‘ajam
(asing) yang dada dan kepalanya terbuka, “Palingkanlah
pandanganmu.”[HR. Bukhari]
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, dari Jarir bin ‘Abdullah, bahwasanya ia berkata;
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw
tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab,
“Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan
Turmudziy]
Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata,
قَالَ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Nabi saw bersabda kepada Ali ra, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya.” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa laki-laki dan wanita wajib menjaga pandangannya satu dengan yang lain. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita begitu juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki.
Adapun selain aurat, baik laki-laki dan wanita diperbolehkan melihatnya dengan tidak disertai maksud untuk menikmatinya, atau untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut, sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Oleh: Ust. Syamsuddin Ramadhan
“Nabi saw bersabda kepada Ali ra, “Wahai Ali, janganlah kamu
ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang
boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya.”
[HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]