HUKUM ARISAN BARANG

HUKUM ARISAN BARANG

Arisan barang adalah arisan dimana pesertanya mendapatkan barang, yang biasanya berharga mahal, seperti buku ensiklopedi, sepeda motor, dan lain-lain. Arisan barang dianggap solusi untuk meringankan beban peserta arisan yang umumnya tidak mampu membeli barang mahal secara _cash_.

Mekanismenya seperti arisan biasa, yakni peserta membayar iuran berupa uang, hanya saja pemenang arisan setelah kocokan tidak mendapat uang, melainkan mendapat barang.

Sebagai contoh, penjual buku menjual sebuah buku Ensiklopedi dengan dua cara. _Pertama_, jika dibeli cash harganya Rp 2.010.000. _Kedua_, jika dibeli secara kredit, penjual buku tersebut menjualnya dengan sistem arisan barang. Arisan ini diikuti oleh 5 orang peserta yang tergabung dalam satu kelompok. Jangka waktu arisan selama 5 bulan, dan per bulan setiap peserta membayar iuran Rp 412.000, yang ditransfer oleh peserta ke nomor rekening penjual buku. Pemenang arisan ditentukan menggunakankan fasilitas aplikasi untuk memilih pemenang secara acak (random).

Bolehkah arisan barang seperti? Jawabannya adalah tidak boleh atau haram. Mengapa? Karena ada 2 (dua) alasan sbb :

*Pertama*, karena arisan barang tersebut melanggar hukum tentang _qardh_ (pinjaman), yakni pinjaman dalam akad qardh wajib dikembalikan dalam jenis barang yang sama dan dalam kuantitas yg sama. Jadi kalau pinjam uang kembalinya harus uang, yang sama jenis dan jumlahnya. Tidak boleh pinjam uang tapi kembali barang. Padahal dalam arisan barang, yang dikumpulkan adalah uang, tetapi pemenang arisan menerima barang. Jelas hal ini tidak dibolehkan secara syariah, karena melanggar hukum _qardh_ (pinjaman). (Taqiyuddin an Nabhani, _Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam,_ Bab Qardh).

*Kedua*, karena arisan barang tersebut melanggar larangan _shafqatain fi shafqah_, artinya dua kesepakatan (akad) dlm satu kesepakatan (akad), dimana satu akad menjadi syarat bagi akad lain. Penggabungan dua akad menjadi satu akad yang seperti itu tidak dibolehkan secara syariah. Dalilnya adalah hadits Ibnu Mas'ud RA yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.(HR Ahmad, hadis shahih).(Taqiyuddin an Nabhani, _Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,_ juz II, Bab al Bai' bi al Dayn).

Maka dari itu, arisan barang tidak boleh, karena berarti menggabungkan akad _qardh_ (antar sesama peserta arisan) dengan akad jual beli (antar pemenang arisan dgn pedagang), dimana akad _qardh_ menjadi syarat bagi akad jual beli.

Berdasarkan dua alasan tersebut, kami berpendapat arisan barang itu haram.

Tapi arisan barang tersebut masih dapat dikoreksi akadnya sehingga hukumnya boleh asalkan memenuhi 2 (dua) syarat:
 
*Satu,* pemenang arisan diberi opsi mau ambil uang atau barang.
 
*Dua,* jika pemenang arisan milih ambil barang, harus ada akad lagi yaitu akad jual beli.
Kedua syarat tsb wajib ada untuk menghindarkan diri dari larangan mengembalikan _qardh_ dg barang yg tidak sejenis dan larangan _shafqatain fi shafqah._

Syarat pertama yakni pemberian opsi bagi pemenang arisan, wajib ada. Sebab jika syarat ini tidak ada, pemenang arisan berarti wajib mengambil barang, padahal dia memberi qardh dlm bentuk uang. Ini jelas melanggar hukum _qardh_, yaitu larangan mengembalikan _qardh_ dgn barang yg tidak sejenis.

Syarat kedua, yaitu harus ada akad jual beli jika pemenang arisan memilih mengambil barang, juga wajib ada. Sebab jika syarat ini tidak ada, pemenang arisan itu akan melanggar larangan _shafqatain fi shafqah_. Karena dia telah menggabungkan akad arisan (qardh) dgn akad jual beli sebagai satu akad yg tak terpisahkan. Ini tidak boleh secara syariah.

Kesimpulannya, arisan barang hukumnya haram. Solusinya, diberlakukan dua syarat; (1) pemenang arisan diberi opsi, boleh ambil uang atau ambil barang; (2) jika pemenang arisan memilih ambil barang, wajib melakukan akad jual beli yang terpisah dari akad arisan.


_Wallahu a'lam._
Yogyakarta, 24 Agustus 2017
KH. M.Shiddiq Al Jawi