PAKAIAN SYAR'IY WANITA DI KEHIDUPAN UMUM - KHIMAR DAN JILBAB

Pakaian Syar'iy Wanita di Kehidupan Umum - Khimar dan Jilbab

Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Khimar adalah kain kerudung (penutup kepala) yang diulurkan hingga menutupi dada wanita. Jilbab adalah pakaian luas (baju kurung/Gamis) yang dikenakan di atas pakaian biasa (pakaian sehari-hari), dan ia wajib diulurkan hingga ke bawah kaki.

Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah

Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah.   Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum.   Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat.  Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain.   Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.

Dalam konteks "menutup aurat" (satru al-'aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat.    Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit.   Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna.  Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna.   Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya.   Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.

Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.
khimar dan jilbab

Perintah Mengenakan Khimar

Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab.   Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.."[al-Nuur:31]

Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.

Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-'Arab menuturkan; al-khimaar  li al-mar`ah : al-nashiif  (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala).  Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya.  Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [1]

Khimar (kerudung) adalah ghitha' al-ra'si 'ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[2]

Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
"Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna' (penutup kepala).  Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar).."[3]

Ibnu al-'Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, "Jaib" adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala .  Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari 'Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, "Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama.  Ketika diturunkan firman Allah swt "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka", mereka membelah kain selendang mereka". Di dalam riwayat yang lain disebutkan, "Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya."  Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki."[4]

Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Adapun yang dimaksud dengan frase "fakhtamarna bihaa" (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri.  Itulah yang disebut dengan taqannu' (berkerudung).  Al-Farra' berkata,"Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya.  Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya.  Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan 'imamah (sorban) bagi laki-laki."      [5]

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
"Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala.  Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana'), Sa'id bin Jabir berkata, "wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna 'ala juyuubihinna, ya'ni 'ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya)."[6]

Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
"Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath'u min dur'u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat.  Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak".[7]

Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
"Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya).  Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna') di atas dada mereka;  yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka."[8]

Perintah Mengenakan Jilbab

Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59.   Allah swt berfirman :

 يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[al-Ahzab:59]

Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab.  Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula'ah (kain panjang yang tidak berjahit).  Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung."[Kamus al-Muhith].  Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, "jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula'ah (baju kurung)."[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]

Di dalam kamus Lisaan al-'Arab dituturkan;  al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa' min al-khimaar duuna ridaa' tughthi bihi al-mar`ah ra'sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa', yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya."  Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi' duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita).  Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[9]

Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, "Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida' (juba).[10]

Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, "Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung).  Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, jilbaab adalah ridaa' (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa' (kerudung).  Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii' al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan).  Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu 'Athiyyah, bahwasanya ia berkata, "Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab.  Nabi menjawab,"Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya".[11]

Dalam Tafsir Ibnu Katsir,  Imam Ibnu Katsir menyatakan, "al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung).  Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa'id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha'iy, 'Atha' al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini.  Al-Jauhariy berkata, "al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung)."[12]

Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
"Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung).  Al-Jauhari berkata, "al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung).  Ada yang menyatakan al-qanaa' (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii' al-badan al-mar`ah."[13]

Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
" Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak"[14]

Syarat Penguluran Jilbab

Jilbab harus diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua mata kaki.    Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah swt;

الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang".[al-Ahzab:59]

Makna ayat di atas adalah; hendaknya mereka mengulurkan jilbab.  Huruf "min" pada frase "min jalaabiibihinna" berfungsi untuk menjelaskan (li al-bayaan), bukan li al-tab'iidl (menunjukkan arti sebagian).  Oleh karena itu, maksud ayat di atas adalah, "hendaklah para wanita itu mengulurkan mula'ah (kain panjang tak berjahit) atau milhafah (semacam selimut) hingga menjulur ke bawah (irkha`)".  Penafsiran semacam ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasaaiy, dari Ibnu 'Umar ra; bahwasanya Nabi saw bersabda;

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ شِبْرًا قَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا تَزِدْنَ عَلَيْهِ

"Barangsiapa mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.  Ummu Salamah bertanya, "Lantas, bagaimana dengan ujung pakaian yang dikenakan oleh para wanita?  Rasulullah saw menjawab, "Hendaklah diulurkan sejengkal."  Ummu Salamah berkata lagi, "Kalau begitu akan tampak kedua kakinya."  Nabi saw menjawab lagi, "Hendaklah diulurkan sehasta dan jangan ditambah".[HR. Abu Dawud]

Hadits ini menjelaskan bahwa pakaian luar (jilbab) yang dikenakan wanita, yakni mula`ah atau milhafah, mesti diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.   Oleh karena itu, jika seorang wanita menutupi kedua kakinya dengan kaus kaki atau sepatu, maka ia belum disebut irkha` (mengulurkan) jilbab.   Sebab, yang dituntut oleh syariat adalah irkha` (mengulurkan jilbab) hingga ke bawah kedua kaki, bukan sekedar menutup kedua mata kaki.

Inilah busana wanita Muslimat ketika ia hendak keluar rumah.  Busana itu adalah khimar dan jilbab.  Oleh karena itu, seorang wanita dilarang keluar dari kehidupan khususnya, rumah misalnya, tanpa mengenakan pakaian syar'iy yang telah diwajibkan baginya, yakni, jilbab dan kerudung (khimar).   Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits shahih, Rasulullah saw bersabda:

 عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Diriwayatkan dari Ummu 'Athiah yang berkata,"Rasulullah saw. memerintahkan kami agar keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adlha, baik ia budak wanita, wanita yang haidl, maupun yang perawan.  Adapun bagi orang-orang yang haidl maka menjauh dari tempat shalat, namun menyaksikan kebaikan dan seruan kaum Muslim.  Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah saw. salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.  Maka Rasulullah saw. menjawab: 'Hendaklah saudaranya itu meminjamkan jilbabnya."[HR. Muslim]

Hadits ini menerangkan bahwa jilbab bukanlah pakaian utama yang dikenakan oleh wanita untuk menutup auratnya, akan tetapi, ia adalah pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian utama (pakaian sehari-hari), ketika wanita itu hendak keluar dari rumahnya.   Dengan kata lain, jilbab adalah busana lain (busana kedua) yang dikenakan untuk menutup busana utama, dan ia dikenakan khusus ketika hendak keluar dari rumah.  Dalam hadits lain dituturkan, bahwasanya Usamah bin Zaid berkata;

 كَسَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسْ الْقُبْطِيَّةَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا

"Rasulullah saw memberiku qubthiyyah (pakaian dari katun) yang tebal, dari hadiah yang telah diberikan Dihyah al-Kalbi kepada beliau saw.  Lalu, aku memberikan kain itu kepada isteriku.  Beliau bertanya, "Mengapa engkau tidak memakai qubthiyyah itu?  Aku menjawab, "Aku telah memberikannya kepada isteriku."  Nabi saw berkata, "Perintahkanlah kepadanya supaya meletakkan ghilaalah (pakaian tipis yang dikenakan di bawah kain lainnya) di bawahnya.  Saya khawatir bentuk tulangnya akan terlihat."[HR. Imam Ahmad]

Simpulan
  1. Busana yang harus dikenakan wanita Muslimah ketika keluar dari rumah adalah khimar dan jilbab.
  2. Khimar adalah kain kerudung (penutup kepala) yang diulurkan hingga menutupi dada wanita.
Jilbab adalah pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian biasa (pakaian sehari-hari), dan ia wajib diulurkan hingga ke bawah kaki. Hanya saja, jilbab wajib dikenakan ketika wanita hendak keluar dari rumah.  Adapun jika ia berada di dalam rumah, ia tidak diwajibkan mengenakan jilbab, dan cukup mengenakan pakaian sehari-hari.

[1]  Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 4/257

[2]  Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336

[3]  al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran, juz 1/311

[4] Ibnu al-'Arabiy, Ahkaam al-Quraan, jilid III/1369

[5] al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 10/106

[6]  Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir, juz 3/285; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182

[7]  Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23

[8]  Ibnu Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/32; Imam Nasafiy, Tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143; Ruuh al-Ma'aaniy, juz 18/142

[9]  Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-'Arab, juz 1/272

[10]  Imam Zamakhsyariy, Tafsir al-Kasysyaf, juz

[11]  Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 14/243

[12]  Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/519

[13]  Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz  4/304

[14]  Imam al-Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/560