MENCINTAI NABI MUHAMMAD SAW

Mencintai Rasulullah saw. hukumnya wajib atas setiap Muslim. Bahkan cinta seorang Muslim kepada Rasulullah saw. harus berada di atas cinta kepada yang lain, selain Allah SWT. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri dan keluarga kalian, juga kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik.” (TQS at-Taubah [9]: 24).

Haditst Nabi SAW:

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»

Tidak sempurna iman seseorang sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, kedua orangtuanya dan manusia seluruhnya (HR Muslim).

Para Sahabat senantiasa berlomba-lomba menunjukkan cinta mereka kepada Rasulullah saw. Mereka biasa mendahulukan Rasulullah saw. di atas segala urusan mereka. Pernah ketika berdakwah pertama kali di Masjid al-Haram, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. mengalami penganiayaan berat. Kabilahnya, yakni Bani Taim, lalu datang menolong dirinya yang pingsan. Setelah siuman, kalimat pertama yang diucapkan Abu Bakar adalah, “Bagaimana keadaan Rasulullah?” Orang-orang Bani Taim lalu mencaci dan meninggalkan Abu Bakar.

Kecintaan kepada Nabi saw. juga ditunjukkan oleh Saad ra. saat ia berkata, “Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa tidak ada seorang pun yang lebih aku sukai untuk diperangi karena-Mu daripada suatu kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusir beliau.” (Muttafaq 'alaih).

Cinta hakiki kepada Rasulullah saw. tentu bukan sekadar ucapan di lisan. Cinta kepada beliau harus dibuktikan dengan ketaatan pada risalah yang beliau bawa, yakni syariah Islam. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS Ali Imran [3]: 31).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa siapa saja yang mengakui cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad saw. (tharîqah al-Muhammadiyyah), maka ia berdusta sampai ia mengikuti syariah Muhammad secara keseluruhan.

Uraian Ibnu Katsir semestinya menyadarkan kita bahwa pernyataan cinta kepada Baginda Rasulullah saw. akan bertolak belakang jika kita malah mengambil jalan hidup selain Islam. Sungguh tidak patut seorang Muslim yang mengaku mahabbah (cinta) kepada Baginda Nabi saw. dengan membelakangi syariah yang beliau bawa. Padahal ketaatan pada syariah Islam adalah bukti hakiki cinta kepada Nabi saw. Inilah yang ditunjukkan oleh para Sahabat beliau. Karena itu, karena besarnya cinta mereka kepada Nabi saw., untuk urusan apapun, mereka selalu merujuk kepada beliau. Para Sahabat senantiasa mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta ketetapan hukum berdasarkan wahyu Allah SWT yang turun kepada beliau untuk menyelesaikan semua persoalan yang mereka hadapi. Sekadar contoh: Para Sahabat pernah mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta solusi atas kenaikan harga barang-barang di pasar. Mereka meminta agar beliau mematok harga (tasy’ir) agar tidak memberatkan warga. Namun demikian, beliau menolak karena ketetapan harga harus berdasarkan ketentuan pasar secara alamiah atas kehendak Allah SWT. Contoh lain: ketika Allah SWT menurunkan ayat yang mengharamkan riba, semua Sahabat segera meninggalkan riba.

Para Sahabat yang diangkat menjadi gubernur atau pejabat negara juga hanya memberlakukan ketentuan dari al-Quran dan as-Sunnah. Pada saat Nabi saw. mengangkat Muadz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, misalnya, beliau bertanya kepada Muadz, "Bagaimana engkau memutuskan perkara jika muncul persoalan di hadapanmu, Mu'adz?" Muadz menjawab,

"Aku memutuskan dengan Kitabullah." Beliau bertanya lagi,

"Bagaimana jika kamu tidak menjumpai ketetapannya dalam Kitabullah?" Muadz menjawab,

"Aku akan memutuskan dengan Sunnah Rasul." Beliau kembali bertanya,

"Jika tidak juga kamu temui ketetapannya dalam Sunnah Rasulullah?"

Muadz kembali menjawab, "Aku akan menggunakan pikiranku untuk berijtihad dan aku tak akan berlaku sia-sia." Rasulullah saw. pun memuji Muadz dengan berkata, “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah." (HR Abu Dawud).

Inilah tanda kecintaan yang hakiki kepada Rasulullah saw., yakni memutuskan perkara hanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Menyimpang dari ajaran Islam, apalagi sampai menentang syariah Islam yang nyata-nyata dibawa oleh Rasulullah saw., adalah tindakan haram dan tentu membuktikan ketidakcintaan kepada beliau. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan dirinya ke dalam api neraka dan dia kekal di dalamnya. Bagi dia siksaan yang menghinakan (TQS an-Nisa’ [4]: 14).

Sayang, kenyataannya sekarang, jangankan bicara syariah Islam, simbol-simbol Islam pun dijauhi bahkan dimusuhi. Ar-Raya dan al-Liwa’, misalnya, yang merupakan bendera Rasulullah saw. sempat dilarang, disita dan dituding sebagai simbol terorisme. Ucapan takbir belakangan juga dituding sebagai simbol terorisme dan kejahatan.

Pada saat yang sama, Khilafah—meski hanya sekadar diwacanakan dan didakwahkan—terus dimonsterirasi dan dikriminalisasi dengan tuduhan: anti Pancasila, NKRI dan UUD 1945. Padahal Khilafah adalah ajaran Islam yang wajib diterapkan. Khilafah adalah institusi satu-satunya yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Menerapkan syariah Islam secara kâffah tentu merupakan bukti hakiki cinta kita kepada Nabi saw. Apalagi Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam warisan beliau yang akan memelihara urusan kaum Muslim sepeninggal beliau. Beliau mengingatkan:

«كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّماَ هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ»

Dulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelah aku. Yang akan ada adalah para khalifah sehingga jumlah mereka banyak (HR Muslim).

Jika Rasulullah saw. telah memberikan tuntunan yang jelas, tetapi kemudian kita mengambil jalan yang lain, masih pantaskah kita mengklaim cinta kepada Rasulullah saw. atau justru mengkhianati beliau? Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bagi dirinya, lalu dia mengikuti jalan yang bukan jalan kaum Mukmin, niscaya Kami membiarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasai itu dan Kami memasukkan dia ke dalam Jahanam. Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali (TQS an-Nisa’ [4]: 115). []