METODE DA’WAH ATAU MENYAMPAIKAN RISALAH - TAFSIR SURAT AN-NAHL 125

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (dalil) dan nasihat yang baik (nasihat Al Qur’an) serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik (lembut)... (QS An-Nahl [16]: 125). Surat An Nahl 125.
Tafsir Surat An-Nahl 125 : Metode Da’wah atau Menyampaikan Risalah

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (dalil) dan nasihat yang baik (nasihat Al Qur’an) serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik (lembut)…(QS An-Nahl  [16]: 125).

Allah SWT berfirman:

 اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl  [16]: 125).

Ayat di atas menerangkan tiga metode (tharîqah) dakwah atau mengemban risalah, termasuk risalah tentang seruan untuk menciptakan dan mengokohkan ukhuwah islamiyah. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda. Pertama: dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath‘i maupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran.[1] Sebagian mufassir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran.[2] Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan as-Sunnah.[3]

Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufassir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalîl al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).

Walhasil, jumhur mufassir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufassir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Alasannya, para mufassir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.[4]    

Cara dakwah dengan hikmah ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna;[5] seperti para pemikir dan cendekiawan. Dalam konteks ukhuwah islamiyah, kepada mereka perlu disampaikan berbagai dalil (hujjah) mengenai kewajiban memelihara ukhuwah islamiyah dan keharaman perpecahan di antara sesama kaum Muslim atas nama apapun. Menghadapi orang-orang yang menolak mengirimkan bantuan, termasuk pasukan/militer, untuk membantu kaum Muslim di Palestina, Afganistan atau Irak dengan dalih bahwa kita lebih baik berkonsentrasi pada urusan/kepentingan dalam negeri sendiri, misalnya, bisa ditempuh cara hikmah ini.

Kedua: dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan).[6] Misalnya dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujian) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah.[7] Sebagian mufassir menafsirkan maw‘izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya adalah perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).

Merinci tafsiran global tersebut, para mufassir menjelaskan sifat maw‘izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu il­â al-qulûb bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqnâ‘iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima.

Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan maw‘izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).[8]

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong maw‘izhah hasanah ada dua:
  1. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufassir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
  2. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufassir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Naisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.
Cara dakwah dengan maw‘izhah hasanah ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.[9] Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

Dalam konteks ukhuwah islamiyah, kepada mereka perlu disampaikan bahwa memelihara ukhuwah islamiyah adalah wajib, yang berkonsekuensi pahala jika ditinggalkan, dan menyulut perpecahan adalah haram, yang berkonsekuensi dosa jika dilakukan. Menghadapi orang awam yang cenderung fanatik terhadap mazhab, partai, atau harakahnya dan tidak toleran terhadap pihak lain, misalnya, bisa ditempuh cara maw‘izhah al-hasanah ini.

Ketiga: dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar.[10] Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya.[11] Dari segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran.

Sebagian mufassir memaknai jidâl billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Al-Fairuzabadi, misalnya, menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh.[12] Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.[13]

Pada penafsiran yang lebih rinci akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufassir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam  aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek:
  1. Dari segi cara (uslûb), sebagian mufassir menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.
  2. Dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufassir menjelaskan bahwa jidâl billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidâl billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.[14]
  3. Dari segi argumentasi, sebagian mufassir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidâl billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya).[15] Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz.
Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal sekaligus: menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (Lihat: QS al-Baqarah [2] : 258).

Cara dakwah dengan mujâdalah billati hiya ahsan ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw‘izhah hasanah.[16] Dalam konteks ukhuwah islamiyah, menghadapi orang/kelompok yang mudah menganggap sesat atau mengkafirkan orang/pihak lain bisa ditempuh cara ini.

Bagian akhir ayat memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balâgh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang mendapat hidayah maupun yang tersesat.[17]

[1]      Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl (Tafsîr al-Baydhawi), III/195; Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124; Muhammad Sulayman al-Asyqar, Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr, hlm. 363.

[2]      As-Suyuthi dan Imam Al-Mahalli, hlm. 199; al-Baghawi, Ma‘âlim at-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawi), III/74; al-Fayruzabadi, hlm. 232.

[3]      Ibnu Katsir, II/591.

[4]      Lihat: Al-Baidhawi, III/195; Al-Alusi, V/487; an-Nisaburi, XIV/130-131; Al-Khazin, IV/124; an-Nawawi, I/516-517.

[5]      An-Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, I/516-517.

[6]      Muhammad Abdul Mun’in Al-Jamal, At-Tafsîr al-Farîd li al-Qur’ân al-Majîd, hlm. 1704.

[7]      Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124. Ini sesuai dengan makna bahasa maw’izhah, yakni memberi nasihat atau peringatan dengan menerangkan akibat-akibat (bi al-‘awâqib) dari sesuatu perbuatan. Lihat Ibrahim Anis dkk, Al-Mu‘jam Al-Wasîth, hlm. 1043.

[8]      Lihat: Sayyid Quthub, XIII/292; an-Nisaburi, XIV/131; al-Baidhawi, III/195; al-Alusi, V/487; an-Nawawi, I/517; al-Khazin, IV/124.

[9]      An-Nisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, XIV/130-131.

[10]     Demikian menurut Muhammad Khayr Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, I/786 & 790, mengikuti pendapat al-Mawardi dalam Al-Ahkâm ash-Shulthaniyah hlm. 37-38, al-Kasani dalam Badâ`i‘ ash-Shana`i‘, VII/100, dan As-Sarakhsi dalam Syarh as-Sayr al-Kabîr, I/75-76.

[11]     Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292.

[12]     Al-Fayruzabadi, hlm. 232.

[13]     As-Suyuthi dan al-Mahalli, hlm. 199.

[14]     Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292.

[15]     An-Nawawi al-Jawi, Marah Labid I/516-517.

[16]     Al-Alusi, Rûh al-Ma‘âni, V/487.

[17]     Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, II/591.