Kehujjahan sunnah sebagai dalil syara' telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy yang menuturkan tentang kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan sunnah sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath'iy yang menyatakan, bahwa beliau saw tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua peringatan beliau saw adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, sunnah adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Sunnah adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan Sunnah dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat. Ketentuan semacam ini didasarkan pada nash-nash berikut ini:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."[al-Hasyr:7]
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
"Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka".[al-Nisaa': 80]
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". [al-Nuur:63]
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".[al-Ahzab:36]
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya".[al-Nisaa':65]
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".[Ali Imron:31]
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".[al-Nisaa':59]
Ayat-ayat di atas tsubut dan dilalahnya qath'iy. Dilalah ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas, wajibnya kaum Muslim mengambil sunnah sebagai dalil syariat, tak ubahnya dengan al-Quran. Siapa saja yang menolak menjadikan sunnah sebagai dalil syariat, alias ingkar sunnah, tidak diragukan lagi, ia telah terjatuh kepada kekafiran.[Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 68]
Tidak boleh dinyatakan, bahwa kita hanya berpegang teguh kepada al-Quran saja, dan tidak perlu memakai sunnah lagi; dengan alasan al-Quran telah sempurna, jelas, dan menjelaskan segala sesuatu. Sebab, kenyakinan semacam ini justru akan berakibat munculnya penolakan terhadap penjelasan-penjelasan Rasulullah saw terhadap al-Quran. Dengan kata lain, akan muncul penafsiran-panafsiran pribadi yang bertentangan dengan penjelasan Rasulullah saw. Atas dasar itu, menolak sunnah –baik yang menyeluruh maupun sebagian— sama artinya menolak al-Quran itu sendiri.
Argumentasi Para Penolak Sunnah (Ingkar Sunnah)
Pertama, mereka menyatakan, bahwa agama harus dibangun di atas dalil yang pasti (menyakinkan). Apabila kita mengambil dan memakai sunnah, berarti, landasan agama Islam tidak lagi pasti. Al-Quran yang dijadikan landasan agama bersifat pasti. Allah swt berfirman:
الم(1)ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ(2)
"Alif, Laam, Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa."[al-Baqarah:1-2]
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ
"Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya".[Fathiir:31]
Selanjutnya, mereka menyatakan, bahwa hadits itu terbagi menjadi dua, mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir jumlahnya sangat sedikit, dan selebihnya adalah hadits ahad. Sedangkan hadits ahad hanya menghasilkan dzann (dugaan kuat) belaka, dan tidak menghasilkan keyakinan. Jika landasan agama berujud gabungan antara yang pasti (qath'iy) dan dugaan (dzanniy), hasilnya akan dzanniy juga. Sebab, gabungan antara yang pasti dan tidak pasti adalah ketidakpastian juga. Padahal al-Quran telah mencela orang-orang yang menggunakan dzan dan meninggalkan yang pasti. Allah swt berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”[Yunus:36]
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
“..Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa….”[al-Nisâ’:157]
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”[al-Nisâ’:116]
كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
“Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.”[Al-An’am:148]
Hadits itu bersifat dzanniy, sehingga tidak layak digunakan sebagai landasan agama. Atas dasar itu, landasan agama hanyalah al-Quran semata. Argumentasi ini sering diketengahkan oleh para pengingkar sunnah, baik tempo dahulu maupun sekarang (misalnya, Taufiq Sidqiy, dan kelompok Ahlul Quran).
Koreksi Atas Argumentasi Pertama:
Benar, masalah ushuluddin, harus ditetapkan berdasarkan dalil yang qath'iy, baik tsubut maupun dilalah. Artinya, sesuatu itu baru absah digunakan dalil jika ia ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qath'iy, baik tsubut maupun dilalahnya. Pada dasarnya, keabsahan sunnah sebagai dalil syariat (landasan agama) telah ditetapkan oleh nash-nash yang tsubut dan dilalahnya qath'iy. Dengan kata lain, kita tidak memakai dzann yang bertentangan dengan yang haq (al-Quran), akan tetapi memakai dzann yang diperintahkan oleh Allah swt sendiri; atau dzann yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath'iy.
Pengingkar sunnah di jaman dahulu, pernah mengkritik Imam Syafi'iy dengan menyatakan, "Apakah ada dalil yang bersifat dzanniy yang dapat menghalalkan suatu masalah yang sudah diharamkan dengan dalil yang qath'iy? Imam Syafi'iy menjawab, "Ya, ada." Mereka bertanya, "Apa itu?" Imam Syafi'iy menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan, "Bagaimana pendapat anda terhadap orang membawa harta yang ada di sebelah saya ini, apakah orang itu haram dibunuh dan hartanya dirampas? Mereka menjawab, "Yang demikian, ia haram dibunuh, dan hartanya dirampas". Imam Syafi'iy bertanya lagi, "Apabila ada dua orang saksi yang mengatakan, bahwa orang tersebut baru saja membunuh orang lain dan merampok hartanya, bagaimana pendapat anda?" Mereka menjawab, "Ia mesti diqishash dan hartanya harus dikembalikan kepada ahli waris orang yang terbunuh tadi." Imam Syafi'iy bertanya lagi,"Apakah tidak mungkin dua orang saksi tadi berbohong?" Mereka menjawab,"Ya, mungkin". Imam Syafi'iy berkata, "Kalau begitu, anda telah membolehkan membunuh (qishash) dan merampas harta dengan dalil dzanniy, padahal dua masalah itu sudah diharamkan berdasarkan dalil yang pasti." Mereka berkomentar, "Ya, karena kita diperintahkan untuk menerima kesaksian".
Al-Quran sendiri, meskipun dari sisi tsubutnya pasti, namun tidak semua ayatnya menunjukkan pengertian (dilalah) yang pasti pula. Banyak ayat yang dilalahnya dzanniy, dan tidak menunjukkan pada satu pengertian saja. Oleh karena itu, tanpa disadari, para pengingkar sunnah, juga mengikuti sesuatu yang bersifat dzanniy, tak ubahnya dengan sunnah. Lalu, mengapa mereka menolak sunnah, dan hanya berpegang kepada al-Quran saja, padahal, sebagian ayat al-Quran juga tidak pasti menunjukkan kepada satu pengertian saja, alias dzanniy dilalah?
Adapun ayat-ayat yang mencela penggunaan dzann, sesungguhnya ayat ini, berbicara pada konteks sesuatu yang sudah jelas-jelas pasti kebenarannya (masalah 'aqidah). Masalah ini tentu saja berbeda dengan masalah mengambil hadits (sunnah) sebagai dalil syariat. Sebab, kewajiban mengambil hadits atau sunnah sebagai dalil telah ditetapkan berdasarkan nash-nash al-Quran yang dilalahnya qath'iy.
Kedua, para pengingkar sunnah menyatakan, bahwa dalil syariat hanyalah satu, yakni al-Quran. Allah swt berfirman:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [al-An'aam:38]
Para pengingkar sunnah menyatakan, bahwa menyakini al-Quran masih memerlukan penjelasan sama artinya mendustakan al-Quran; sekaligus mengingkari kedudukan al-Quran yang membahas segala sesuatu secara tuntas. Ayat di atas, jelas-jelas membantah bahwa al-Quran masih mengandung kekurangan. Sebab, keyakinan semacam ini, menurut mereka, sama artinya menuduh bahwa al-Quran telah melupakan sesuatu, dan tentu saja, bertentangan dengan kandungan surat al-An'am ayat 38. Argumentasi ini diajukan oleh Abu Rayyah dan Dr. Taufiq Shidqiy.
Koreksi Atas Argumentasi Kedua:
Sesungguhnya, argumentasi di atas sama sekali prematur dan tidak pada tempatnya. Sebab, Allah swt juga memerintahkan kepada kita untuk mengambil dan memakai apa yang disampaikan oleh Nabi saw kepada kita semua; seperti dalam firmanNya:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya."[al-Hasyr:7]
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".[al-Ahzab:36]
Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw sajalah yang diberi tugas untuk menjelaskan kandungan al-Quran; sedangkan kita diwajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik yang berupa perintah maupun larangan. Sebab, semua ini pada dasarnya bersumber dari al-Quran. Sesungguhnya, ketika kita mengambil sunnah, kita tidak memasukkan unsur lain ke dalam al-Quran, sehingga al-Quran masih dianggap memiliki kekurangan.
Ketiga, mereka juga berargumentasi, bahwa al-Quran tidak perlu penjelasan, justru ia menjelaskan segala sesuatu. Allah swt berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri".[al-Nahl:89]
Berdasarkan ayat ini, para pengingkar sunnah berpendapat, bahwa al-Quran tidak lagi memerlukan penjelasan dari Sunnah; sebaliknya ayat ini justru menyatakan, bahwa al-Quran telah menjelaskan segala sesuatu. Para pengingkar sunnah juga membangun argumentasi mereka berdasarkan ayat berikut ini:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan". [al-An'aam:38]
Mereka menyatakan, bahwa menyakini al-Quran masih memerlukan penjelasan sama artinya mendustakan al-Quran. Sebab, keyakinan semacam ini, menurut mereka, sama artinya menuduh bahwa al-Quran telah melupakan sesuatu, dan tentu saja, bertentangan dengan kandungan isi dari surat al-An'am ayat 38.
Koreksi Atas Argumentasi Ketiga
Alasan-alasan semacam ini jelas-jelas alasan yang salah, sesat dan menyesatkan. Adapun kesalahan argumentasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sesungguhnya, kita tidak boleh mencukupkan diri hanya berpegang kepada surat al-Nahl ayat 89, untuk menolak sunnah. Sebab, al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas pula, bahwa Nabi Mohammad saw telah diberi tugas untuk menjelaskan kandungan isi al-Quran; dan kita wajib mengikuti dan melaksanakan penjelasan beliau saw. Allah swt berfirman:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan."[al-Nahl:44]
Ayat ini dengan sharih menyatakan, bahwa Allah swt telah menurunkan al-Quran kepada Nabi Mohammad saw, sekaligus membebani NabiNya untuk menjelaskan kandungan isi al-Quran. Jika Allah swt telah menurunkan al-Quran kepada Nabi Mohammad saw, sekaligus menugaskan kepada beliau untuk menjelaskan al-Quran kepada umat manusia, lantas, pantaskah seorang Mukmin menolak penjelasan dan keterangan dari Rasulullah saw, dan memakai penafsiran dan penakwilannya sendiri? Sesungguhnya, penolakan terhadap penjelasan Rasulullah saw terhadap ayat-ayat al-Quran, sama artinya dengan menyakini sebagian ayat dan ingkar terhadap ayat yang lain.
Sunnah (Hadits) Bukan Wahyu?
Para pengingkar sunnah --kelompok Ahlu Quran— menyatakan, bahwa pembagian wahyu menjadi dua bagian; wahyu terbaca (al-Quran) dan tak terbaca (sunnah) adalah pemikiran Yahudi yang menyusup ke dalam Islam. Lantas, benarkah wahyu yang disampaikan Allah swt kepada Nabi Mohammad saw hanyalah wahyu terbaca saja (al-Quran); ataukah ada wahyu lain yang tak terbaca?
Pendapat yang benar adalah, Allah swt telah menurunkan wahyu terbaca dan tak terbaca. Sedangkan tuduhan pengingkar sunnah yang menyatakan, bahwa pembagian wahyu semacam ini merupakan infiltrasi pemikiran Yahudi ke dalam Islam, jelas-jelas salahnya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuan mereka terhadap maksud yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Quran.
Berikut ini akan dipaparkan bukti-bukti adanya wahyu yang tidak terbaca (wahyu selain al-Quran). Allah swt berfirman:
- Surat al-Tahrim ayat 3. Allah swt berfirman:
"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".[al-Tahrim:3]
Ayat ini menunjukkan, bahwa Rasulullah saw telah berbicara hal-hal rahasia kepada sejumlah isterinya. Akan tetapi, isteri yang diajak bicara itu tidak menganggapnya sebagai sebuah rahasia, sehingga tidak ada salahnya menceritakannya kepada orang lain. Lalu, Allah swt memberitahukan masalah itu kepada beliau saw. Nabi saw juga diberi tahu kalimat-kalimat yang dibocorkan. Ketika isteri tadi ditegur oleh Nabi saw, ia bertanya,"Siapakah yang memberitahukan hal itu kepadamu?" Nabi menjawab, "Allahlah yang telah memberitahukan hal itu kepadaku."
Semua ini menunjukkan, bahwa Allah memberitahu Nabi saw tentang pembicaraan yang dibocorkan oleh isteri beliau. Namun, al-Quran tidak menyebutkan apa yang diceritakan Nabi saw kepada isterinya, sebagaimana juga tidak menjelaskan apa yang dibocorkan oleh isterinya itu. Pertanyaan selanjutnya adalah, mungkinkah ada ayat yang tertinggal, sehingga tidak tertulis di dalam al-Quran, ataukah Nabi saw diberi wahyu namun tidak tertulis? Jika kita menyatakan ada ayat yang tertinggal, berarti al-Quran tidaklah terjaga. Padahal Allah swt telah berfirman;
"Sesungguhnya, Kami telah menurunkan al-Quran dan Kami jualah yang memeliharanya."[al-Hijr:9]
Berarti tinggal satu kemungkinan lagi, yakni adanya wahyu tak tertulis, alias ada wahyu selain al-Quran.
- Surat al-Hasyr ayat 5. Allah swt berfirman:
"Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka semua itu adalah dengan ijin Allah swt."[al-Hasyr:5]
Ayat ini dengan jelas diturunkan sesudah penebangan pohon kurma. Dan dari al-Quran pula kita memahami bahwa ijin penebangan itu berasal dari Allah swt. Akan tetapi, kita tidak menemukan ayat yang menerangkan penebangan itu.
- Surat al-Qiyamah ayat 17
”Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkan al-Quran itu, dan membuatmu pandai membacanya."[al-Qiyamah:17]
Pada dasarnya, al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, tidak dengan seketika. Sejarah turunnya al-Quran juga tidak berpengaruh terhadap urut-urutan ayatnya. Para shahabat membaca al-Quran dengan urut-urutan yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, kita tidak pernah mendapati hal ini tertulis di dalam al-Quran. Ini menunjukkan, bahwa urut-urutan yang telah diajarkan Rasulullah saw kepada kita adalah diwahyukan, namun tidak tertulis di dalam al-Quran.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa argumentasi yang diketengahkan para pengingkar sunnah jelas-jelas bathil, dan sesat. Sebab, kewajiban mengambil sunnah dan hadits Nabi jelas-jelas telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath'iy (al-Quran). Mengingkari sunnah, tak ubahnya dengan mengingkari al-Quran. Adapun hukum bagi orang yang mengingkari sunnah adalah murtad.
Oleh: Ustadz Syamsuddin Ramadhan